Showing posts with label Aqidah. Show all posts
Showing posts with label Aqidah. Show all posts

Sunday, April 7, 2013

Fatwa 'Ulama, Tentang Berhukum Dengan Selain Hukum Alloh


1. FATWA SYAIKH AL ALLAMAH IMAM MUHAMMAD AL AMIN ASY SYANGGITI –RAHIMAHULLOH- , SYAIKH NYA PARA MASYAYIKH DAN MUFTI KERAJAAN SAUDI :

وبهذه النصوص السماوية التي ذكرنا يظهر غاية الظهور أن الذين يتّبعون القوانين الوضعية التي شرعها الشيطان على لسان أوليائه مخالفة لما شرعه الله جل وعلا على ألسنة رسله [عليهم الصلاة والسلام] أنه لا يشك في كفرهم وشركهم إلاّ من طمس الله بصيرته وأعماه عن نور الوحي... فتحكيم هذا النظام في أنفس المجتمع وأموالهم وأعراضهم وأنسابهم وعقولهم وأديانهم، كفر بخالق السموات والأرض وتمرّد على نظام السماء الذي وضعه من خلق الخلائق كلها وهو أعلم بمصالحها سبحانه وتعالى (أضواء البيان جـ4 صـ 83- 84

“Berdasar nash-nash yang diwahyukan Alloh dari langit yg telah kami sebutkan di atas, telah nyata senyata-nyatanya bahwasanya orang-orang yang mengikuti undang-undang buatan manusia yang disyari’atkan oleh setan melalui mulut para pengikutnya yang bertentangan dengan syari’ah Alloh Azza Wa Jalla yang diturunkan melalui lisan para Rasul-Nya –alaihimus sholaatu wassalam- Bahwa sesungguhnya tidak diragukan lagi tentang telah kafir dan syiriknya orang – orang itu, kecuali bagi orang yang mata hatinya telah tertutup dan buta dari cahaya wahyu Alloh.
Maka penerapan undang – undang ini(undang – undang buatan manusia) dalam mengatur urusan jiwa, harta, kehormatan keturunan(nasab), akal dan agama suatu masyarakat adalah kekufuran terhadap Sang pencipta langit dan bumi dan pengkhianatan terhadap nizham (undang-undang/syari’ah) dari langit yang berasal dari Pencipta seluruh makhluk, dan Dia lah{ALLOH} Yang Maha Mengetahui mashlahah bagi seluruh makhluk-Nya”. (Tafsir Adhwa’ul Bayan juz 4 hal 83 – 84)


2. FATWA SYAIKH MUHAMMAD SHALIH IBN UTSAIMIN (KIBAR ULAMA SAUDI) TENTANG PENGUASA NEGARA-NEGARA DI DUNIA YANG TIDAK MENERAPKAN SYARI'AH ISLAM


من لم يحكم بما أنزل الله استخفافاً به أو احتقاراً له أو اعتقاداً أن غيره أصلح منه وأنفع للخلق فهو كافرٌ كفراً مخرجاً من الملة، ومن هؤلاء من يصنعون للناس تشريعات تخالف التشريعات الإسلامية، لتكون منهاجاً يسير عليه الناس، فإنهم لم يصنعوا تلك التشريعات المخالفة للشريعة إلاّ وهم يعتقدون أنها أصلح وأنفع للخلق، إذ من المعلوم بالضرورة العقلية والجبلة الفطرية أن الإنسان لا يعدل عن منهاج إلى منهاج يخالفه إلاّ وهو يعتقد فضل ما عدل إليه ونقص ما عدل عنه

"Siapa saja yang tidak menetapkan hukum dengan syari'ah Alloh, disebabkan meremehkan, menganggap enteng, atau berkeyakinan bahwa undang-undang lain lebih baik dibanding syari'at Islam maka orang itu telah kafir keluar dari islam Dan di antara mereka itu adalah orang-orang yang menyusun dan membuat undang-undang yang bertentangan dengan syari'at Islam, undang-undang itu mereka buat agar menjadi aturan dan tata nilai dalam kehidupan manusia. Mereka itu tidak membuat atau menyusun undang-undang dan aturan hukum yang bertentangan dengan syari'at Islam kecuali karena mereka berkeyakinan bahwa undang-undang itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi manusia. Dengan demikian sudah menjadi sesuatu yang diketahui secara pasti baik oleh logika maupun naluri akal manusia bahwa manakala seseorang berpaling dari sebuah manhaj lalu pindah ke manhaj yang lain kecuali karena dia meyakini bahwa manhaj barunya itu lebih baik dibanding manhaj yang lama” (Majmu'atul Fatwa wa Rosail Syaikh Utsaimin juz 2 hal 143)



3. FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAZ


ولا إيمان لمن اعتقد أن أحكام الناس وآراءهم خير من حكم الله تعالى ورسوله أو تماثلها وتشابهها أو تَرَكَهَا وأحلّ محلّها الأحكام الوضعية والأنظمة البشرية وإن كان معتقداً أن أحكام الله خيرٌ وأكمل وأعدل

"Dan tidak ada lagi iman bagi orang yang berkeyakinan bahwa hukum-hukum buatan manusia dan pendapat mereka lebih baik dibanding hukum alloh, atau menganggap sama, atau menyerupainya, atau meninggalkan hukum Alloh dan Rosul-Nya tu kemudian menggantinya dengan undang-undang buatan manusia walaupun ia meyakini bahwa hukum alloh lebih baik dan lebih adil" (Risalah Ibn Baz "Wujub Tahkim Syari'a Alloh wa nabdzi ma khaalafahu, Syaikh Bin Baz)

4. FATWA SYAIKH SHALIH FAUZAN AL FAUZAN :

فمن احتكم إلى غير شرع الله من سائر الأنظمة والقوانين البشرية فقد اتخذ واضعي تلك القوانين والحاكمين بها شركاء لله في تشريعه

"Siapa saja yang menetapkan hukum dengan selain syari'at Alloh, yaitu dengan Undang-undang dan aturan manusia maka mereka telah menjadikan para pembuat hukum itu sebagai Ilah tandingan selain alloh dalam tasyri' (Wafaqat ma’a Asy Syaikh Al Albany 46)

5. FATWA SYAIKH AL ALLAMAH ABDULLAH AL JIBRIN :

وقال تعالى {ما فرّطنا في الكتاب من شيء}... فنقول: معلومٌ أن القوانين الوضعية التي فيها مخالفةٌ للشريعة أن اعتقادها والديانة بها خروجٌ عن الملة ونبذٌ للشريعة وحكمٌ بحكم الجاهلية، وقد قال الله تعالى {أَفَحُكْمَ الجاهليّةِ يبغون ومن أحسنُ من الله حُكماً لقومٍ يُوقنونَ} فحكم الله أحسنُ الأحكام وأولاها، وليس لأحدٍ تغييره وتبديله، فإذا جاء الإسلام بإيجاب عبادةٍ من العبادات فليس لأحدٍ أن يغيرها كائناً من كان، أميراً أو وزيراً أو ملكاً أو قائداً... فإذا حَكَمَ الله في أمرٍ من الأمور فليس لأحدٍ أن يتعدى حكم الله تعالى {ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون} كما أخبر بذلك

" Alloh Ta'ala Berfirman : "Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab" (QS Al An'am 38)
(Beliau menjelaskan ayat ini ) : “Maka kami katakan : “Sudah diketahui secara pasti bahwasanya undang-undang buatan manusia yang di dalamnya terdapat (aturan-aturan hukum) yang bertentangan dengan Syari'ah Alloh, BAHWASANYA MEYAKININYA DAN MENJADIKANNYA ATURAN HIDUP ADALAH PERBUATAN YG MENGELUARKAN PELAKUNYA DARI ISLAM, SERTA MENGHANCURKAN SYARI'AH ALLOH SERTA BERHUKUM DENGAN HUKUM JAHILIYYAH".

Alloh Ta'ala Berfirman :

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Alloh bagi orang-orang yang yakin ?” (QS Al Maidah 50)

Hukum Alloh adalah sebaik-baik hukum serta yang paling utama dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk merubah atau menggantinya. Maka tatkala Islam datang dengan mewajibkan suatu ibadah, tidak ada seorang pun yang merubahnya, siapa pun dia. Baik dia seorang Amir (pemimpin), menteri, raja atau panglima. Manakala Alloh telah menetapkan sebuah aturan hukum dalam suatu masalah di antara masalah-masalah kehidupan manusia, maka tidak ada satu pun yang boleh menentang aturan Alloh itu : “Siapa saja yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir [1].” (Ceramah Syaikh Jibrin tentang Hukum masuk dalam Parlemen side B)

6. FATWA SYAIKH ABDURRAHMAN AS SA'DY

قال في تفسير قوله تعالى {ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك} أن: (الرد إلى الكتاب والسنة شرط في الإيمان، فدل ذلك على أن من لم يرد إليهما مسائلَ النزاع فليس بمؤمن حقيقة، بل مؤمن بالطاغوت ... فإن الإيمان يقتضي الإنقياد لشرع الله وتحكيمه، في كل أمر من الأمور، فمن زعم أنه مؤمن، واختار حكم الطاغوت على حكم الله فهو كاذب في ذلك
Beliau menafsirkan ayat :
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu. Dan syaithon bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”. (QS An Nisa' 60)

"Bahwasanya mengembalikan semua urusan kepada Al Qur'an dan Sunnah adalah syarat keimanan. Ini menunujukkan bahwa siapa saja yg menolak untuk mengembalikan urusan yang dipertentangkan kepada Al Qur'an dan Sunnah ia tidak beriman secara sungguh-sungguh, bahkan ia telah beriman kepada thoghut. Karena sesungguhnya iman menuntut adanya ketundukan kepada Syari'ah Alloh dan bertahkim kepadanya dalam setiap urusan MAKA SIAPA SAJA YG MENGAKU MUKMIN, TETAPI IA MEMILIH HUKUM THOGHUT DIBANDING HUKUM ALLOH SUNGGUH IA TELAH DUSTA DALAM IMANNYA" (Tafsir As Sa'dy hal 148)
7. FATWA SYAIKH HAMUD AT TUWAIJRY

قال: «من أعظمها شراً [أي من أعظم المكفرات شراً] وأسوأها عاقبة ما ابتلي به كثيرون من اطراح الأحكام الشرعية والاعتياض عنها بحكم الطاغوت من القوانين والنظامات الإفرنجية أو الشبيهة بالإفرنجية المخالف كلٌ منها للشريعة المحمدية» ثمّ أورد بعض الآيات القرآنيّة وتابع: «وقد انحرف عن الدين بسبب هذه المشابهة فئاتٌ من الناس، فمستقل من الانحراف ومستكثر، وآل الأمر بكثير منهم إلى الردة والخروج من دين الإسلام بالكلية ولا حول ولا قوة إلاّ بالله العلي العظيم. والتحاكم إلى غير الشريعة المحمدية من الضلال البعيد والنفاق الأكبر... وما أكثرُ المعرضين عن أحكام الشريعة المحمدية من أهل زماننا... من الطواغيت الذين ينتسبون إلى الإسلام وهم عنه بمعزل

“Di antara yang paling besar kekufurannya, yang paling buruk azab yang akan diterima oleh banyak orang di akhirat kelak adalah menentang hukum-hukum Syari’ah Alloh serta menggantinya dengan undang-undang Thoghut berupa undang-undang yang mereka adopsi dari Barat atau yang mirip dengannya yang bertentangan dengan syari’ah yang dibawa oleh Rosulullah Muhhamad Shollallohu 'alaihi wasallam.
Kemudian beliau mengutip beberapa ayat Al Qur’an lalu melanjutkan :
Disebabkan tindakan mengadopsi dan meniru undang-undang seperti inilah, banyak sekali kalangan umat Islam yang tersesat dari Dienullah, ada yang kesesatannya hanya sedikit namun ada pula yang banyak. Dan puncak dari kesesatan yang terjadi pada sebagian besar dari mereka adalah murtad dan keluar dari Islam secara keseluruhan, walaa hawla walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil azhim.

“Menetapkan hukum dengan aturan yang bukan Syari’ah Muhammad Shollallohu 'alaihi wasallam adalah salah satu di antara kesesatan yang amat jauh, dan nifaq Akbar (Murtad keluar dari Islam). Dan mayoritas dari mereka yang menentang Syari’ah Muhammad Shollallohu 'alaihi wasallam di zaman ini adalah para penguasa Thoghut yang mengaku dirinya muslim serta mengatasnamakan tindakan mereka dengan Islam padahal sesungguhnya mereka telah membuang jauh-jauh Islam dari diri mereka”.
(Al Idhah wat Tabyiin Limaa Waqo’a Fiehi Al Aktsaruun Min Musyabahat Al Musyrikin Hal 28 – 29 : Syaikh Hamud At Tuwaijry)
[iroel/p.a]

Sumber : shoutussalam.com

Friday, January 11, 2013

Penjelasan : Tidak Mengkafirkan Orang Kafir Maka Dia Telah Kafir

Penjelasan Syaikh Al Mujahid Nashir Bin Hamd Al Fahd –Fakkallohu Asrohu- Tentang Kaidah : “Barangsiapa Yang Tidak Mengkafirkan Orang Kafir Maka Dia Telah Kafir”


الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد :

Kaidah  “Barangsiapa Yang Tidak Mengkafirkan Orang Kafir Maka Dia Telah Kafir” adalah  kaidah yang sangat masyhur dan merupakan pembatal ketiga di antara pembatal-pembatal keislaman yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- di mana beliau berkata :

من لم يكفر المشركين أو يشك في كفرهم أو صحح مذهبهم كفر

“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik atau ragu tentang kekufuran mereka atau menganggap pemahaman mereka itu benar, maka ia telah kafir”.

Akan tetapi kaidah ini tidak bisa diterpkan secara mutlak begitu saja tanpa penjelasan lebih lanjut. Kaidah ini masih membutuhkan perincian yang bilamana seseorang meremehkannya bisa saja ia terjerumus dalam pemahaman yang batil dalam menjatuhkan vonis kekafiran kepada kaum muslimin atau malah tidak mengkafirkan orang kafir asli sama sekali. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :

Perlu diketahui bahwa hukum asal dari kaidah ini adalah bukan dari segi menyerupai kekafiran dalam ucapan maupun perbuatan akan tetapi penerapan kaidah ini ditinjau dari segi penolakan terhadap hujjah syari’ah atau mendustakannya.

Maka barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang kafir dan ini dikarenakan menolak hujjah yang dijadikan alasan pengkafirannya, orang tersebut telah kafir dengan syarat bahwa hujjah (khobar) yang digunakan dalam mentakfir haruslah khobar yang shahih dan telah disepakati oleh ulama’ (untuk dijadikan hujjah dalam masalah ini, pent) dan orang yang menolak mengkafirkan itu haruslah dikarenakan menolak hujjah-hujjah tersebut.

Adapun penyebab kekufuran bukan hanya satu hal saja, dan orang yang melakukan perbuatan kekufuran itu pun bukan hanya satu tingkatan saja (bertingkat-tingkat sesuai perbuatannya, pent). Dan untuk menjelaskan masalah ini, haruslah membedakan masing-masing darinya. Dalam hal ini terbagi menjadi dua :

I.    KAFIR ASLI
Seperti Yahudi, NAsrani, Majusi dan sebagainya. Dalam hal ini barangsiapa yang tidak mengkafirkan mereka atau ragu akan kekafiran mereka atau menganggap pemahaman mereka itu benar, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama’) sebagaimana telah disebutkan oleh banyak ulama. Hal ini dikarenakan ia menolak nash-nash yang menerangkan bathil nya aqidah selain Islam dan kafir nya dien selain Islam.

II.      KAFIR MURTAD (KELUAR DARI ISLAM)  
Kafir murtad dibagi menjadi dua kategori :

Pertama : Siapa saja yang menyatakan secara terang-terangan bahwa dia telah berganti agama dari Islam kepada agama selainnya seperti Yahudi, Nasrani atau Atheis, maka hukum orang ini seperti hukum kafir asli

Kedua : Siapa saja yang melakukan tindakan yang termasuk pembatal keislaman akan tetapi ia menyangka bahwa perbuatan itu bukanlah pembatal keislaman sehingga ia merasa masih sebagai seorang muslim dan ia tidak dikafirkan karena perbuatan tersebut. Dalam hal ini terbagi dalam dua kategori juga
  1. Barangsiapa yang melakukan perbuatan pembatal keislaman yang shorih (jelas dan nyata) seperti menghujat dan menghina Allah Ta’ala umapamanya, maka orang ini telah kafir menurut ijma’, dan barangsiapa yang tawaqquf atas kekafirannya, maka ia termasuk salah satu dari dua kelompok berikut

  • Barangsiapa yang mengakui dan meyakini bahwa menghujat Allah adalah kekafiran dan perbuatan itu menjatuhkan pelakunya pada kekafiran, tetapi dia bertawaqquf dari menvonis kafir secara mu’ayyan (individu atau personal tertentu) disebabkan ketidaktahuan atau karena syubhat (keraguan) yang dia lihat, maka orang yang bertawaqquf ini telah melakukan kesalahan dan ucapannya tergolong batil. Akan tetapi ia tidak dikafirkan karena ia tidak menolak khobar tersebut (bahwa menghujat dan menghina Allah adalah kekufuran) atau mendustakannya, bahkan dia meyakini dan menerima khobar (hadits dan ayat Al Qur’an) dan ijma’  bahwa menghina Allah adalah kekufuran.

  • Barangsiapa yang pada dasarnya memang mengingkari dan menolak bahwa menghina Allah hukumnya kafir maka ia telah kafir setelah dijelaskan dengan hujjah-hujjah syar’iyyah. Orang tersebut dikafirkan karena ia menolak khobar dan ijma’. Hal ini seperti orang yang mengaku muslim tetapi menyembah kuburan, maka menolak untuk menyatakan bahwa perbuatan itu adalah kekufuran, maka orang ini telah kafir dikarenakan ia menolak nash-nash dan ijma’. Sedangkan orang yang mengakui bahwa perbuatan tersebut termasuk kekufuran tetapi ia tawaqquf dari mengkafirkan pelakunya secara mu’ayyan karena ia melihat masih adanya syubhat, maka orang ini tidak boleh dikafirkan.

2. Barangsiapa yang melakukan pembatal keislaman yang masih diperselisihkan hukumnya seperti meninggalkan sholat fardhu tanpa udzur syar’I umpamanya, maka penetapan kekafirannya adalah masalah khilafiyyah (masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’) dan orang yang berbeda pendapat dalam hal ini tidak boleh dikafirkan, tidak boleh disebut ahli Bid’ah atau orang fasik walaupun ia telah melakukan kesalahan

Demikian yang bisa saya jelaskan secara garis besar tentang kaidah di atas, dan sholawat serta salam semoga terlimpah atas Rasulullah –shollallohu 'alaihi wasallam-

Ditulis oleh Syaikh Nashir Bin Hamd Al Fahd pada 10/05/1423 H

Sumber asli bahasa Arab : http://www.tawhed.ws/dl?i=e7hqd4ju
Diterjemahkan oleh : Ustadz Fuad Al-Hazimi

(Sumber : shoutussalam.com)

Saturday, December 8, 2012

Hadiah Bagi Penghina Rasulullah

بسم الله الرحمن الرحيم 

Benarkah Rasulullah ketika dicaci maki diam saja ? Kita lihat tindakan Rasulullah berikut ini terhadap pencaci maki dirinya (sebagai seorang Nabi & Rasul) dan pencaci maki agamanya ketika beliau telah Hijrah.

Ka’ab Sang Penghina
Tersebutlah Ka’ab bin Al-Asyraf salah seorang Yahudi keturunan Bani Nadhir yang menjadi pemimpin salah satu benteng Yahudi di tenggara Madinah. Ia berasal dari kabilah Tho’i, dari Bani Nabhan dan ibunya berasal dari Bani Nadhir.

Ia dikenal sebagai pemuda tampan milik Yahudi yang kaya raya waktu itu, ia juga suka berbuat baik kepada orang – orang Arab. Ia juga dikenal sebagai seorang penyair. Dengan sayirnya ia menghina Rasulullah – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya – habis - habisan.

Ketika pasukan kaum Muslimin dapat membunuh pemuka – pemuka musyrikin Quraisy yang suka menganiaya Nabi – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya- dan para Shahabatnya –semoga Alloh meridhoi mereka semua- , Ka’ab bin Al-Asyraf langsung memaki – maki Nabi dan kaum Muslimin di pasar – pasar Yahudi, di hadapan orang banyak.

Dengan propaganda provokatifnya, Ka’ab membangkitkan lagi semangat kaum musyrikin Quraisy untuk melawan dan membantai kaum Muslimin.

Berita tentang Ka’ab bin Al-Asyraf pun telah sampai ke telinga Nabi – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya- dan para Shahabatnya –semoga Alloh meridhoi mereka semua-.

Kemudian Alloh –Yang Maha Perkasa- menurunkan ayat :
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-kitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain Alloh dan thoghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa’ : 51)

Kemudian Ka’ab bin Al-Asyraf –semoga Alloh mengadzabnya- kembali lagi ke Madinah, sambil merangkum bait – bait syair baru yang menjelek – jelekan isteri – isteri para Shahabat dengan ketajaman lidahnya dan kedengkian hatinya.

Pada saat itu Rasulullah –semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya- mengajukan pertanyaan kepada sebagian Shahabatnya –semoga Alloh meridhoi mereka semua-, “Siapakah yang berani menghadapi Ka’ab bin Al-Asyraf  ?? Sesungguhnya ia telah menyakiti Alloh dan Rasul-Nya.”

Muhammad bin Maslamah bangkit dan berkata, “Saya Ya Rasulullah. Apakah engkau suka jika saya membunuhnya ?”

“Benar.” jawab Nabi – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya-.

“Perkenankan saya untuk menyampaikan siasat (taktik untuk membunuh Ka’ab).” kata Muhammad bin Maslamah –semoga Alloh meridhoinya-.

“Katakanlah,” jawab Nabi – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya-

Dalam siasat itu ada beberapa Shahabat yang maju ke depan, ya’ni Muhammad bin Maslamah, Ubbad bin Bisyr, Abu Na’ilah (saudara Ka’ab sepersusuan), Al-Harits bin Aus dan Abu Abbas bin Jabr. Yang memimpin batalyon (kelompok) ini adalah Muhammad bin Maslamah.


Memulai Skenario
Dan Muhammad bin Maslamah menjabarkan skenarionya untuk membunuh Ka’ab bin AL-Asyraf di  hadapan Nabi – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya-.

Ibnu Maslamah pun mendatangi Ka’ab dan berkata, “Sesungguhnya Muhammad telah meminta shodaqah kepada kami, namun begitu ia juga telah banyak membantu kami.” katanya seolah – olah ia tidak suka kepada Rasulullah – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya-.

Ka’ab menjawab, “kamu pasti akan merasa bosan menghadapinya.”

Muhammad bin Maslamah berkata lagi, “Sesungguhnya kami telah mengikutinya. Kami tidak akan meninggalkannya sebelum tau kemana dia akan membawa urusannya. Untuk itu beilah kami pinjaman beberapa gantang (untuk membayar shodaqoh ke Nabi – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya-).”

“kalau begitu serahkan jaminannya.” sahut Ka’ab. Sebagai orang Yahudi, Ka’ab pun mengamalkan ajaran Yahudinya, ya’ni berbuat Riba. Meminjamkan uang dengan jaminan yang cukup besar.

“Apa yang kau inginkan ?” tanya Muhammad bin Maslamah.

“Wanita – wanita kalian.” jawab Ka’ab.

“Bagaimana mungkin kami menjaminkan wanita – wanita kami, sementara engkau adalah penduduk Arab yang paling tampan.” jawab Muhammad bin Maslamah.

“kalau begitu anak – anak kalian.” kata Ka’ab.

“Bagaimana mungkin kami menjaminkan anak – anak kami, bisa – bisa kami akan dicemooh nantinya.”

Ada yang berkata, “Memang harus ada jaminan untuk pinjaman beberapa gantang . Tapi itu merupakan aib bagi kami. Bagaimana jika kami menjaminkan senjata kami ?”

Maka Muhammad bin Maslamah berjanji akan mendatanginya lagi. Abu Na’ilah juga berbuat hal yang sama dengan ibnu Maslamah. Dia menemui Ka’ab dengan melantunkan syair – syairnya. Kemudian dia berkata, “Celaka wahai Ibnul Asyraf. Sesungguhnya aku datang untuk suatu keperluan.” Lalu Abu Na’ilah menyebutkan keperluannya dan meminta agar hal itu dirahasiakannya.

“Akan kutepati.” jawab Ka’ab.

“Kedatangan orang ini (Rasulullah) akan menjadi bencana bagi kami, karena bangsa Arab akan menyerang kami, melemparkan anak panah dari satu busur, memutus jalan kehidupan kami hingga keluarga kami menjadi terlantar, semua orang menjadi susah payah, kami dan keluarga kami akan menjadi payah juga.”

Kemudian terjadilah dialog panjang antara Abu Na’ilah dan Ka’ab bin Al-Asyraf seperti yang dilakukan Muhammad bin Maslamah. Abu Na’ilah menambahi, “Aku juga mempunyai beberapa kawan lain yang sependapat denganku. Aku akan datang bersama mereka nanti untuk menemuimu. Maka kau harus bersikap ramah kepada mereka.”

Sampai disini sempurnalah scenario suci yang telah mereka rancang sendiri. Sementara Ka’ab tidak boleh dan tidak bisa menolak keduanya untuk membawa senjata dan juga kawan – kawannya dalam pertemuan berikutnya.


Pembunuhan!
Pada suatu malam yang cerah, rembulan bersinar terang, 14 Rabi’ul Awwal 3 H, beberapa orang shahabat yang telah menjadi batalyon Muhammad bin Maslamah berkumpul di hadapan Rasulullah – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya-. Beliau mengantar mereka sampai Baqi Al-Ghorqod, lalu menyampaikan arahan kepada mereka, “Pergilah atas nama Alloh. Ya Alloh, tolonglah mereka.” Setelah itu beliau – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya- kembali lagi ke rumah untuk sholat dan berdoa.

Batalyon itu (Muhammad bin Maslamah, Abu Na’ilah, Al-Harits bin Aus, Ubbad bin Bisyr dan Abu Abbas bin Jabr) berhenti di dekat benteng Ka’ab Al-Asyraf.  Abu Na’ilah memanggil Ka’ab dengan berbisik pelan. Maka Ka’ab bangkit untuk turun dari benteng.

“pada malam – malam begini engkau hendak pergi ?” tanya isterinya yang masih muda belia. Isterinya berkata lagi, “Aku mendengar sebuah suara seakan tetesan darah.”

“Mereka adalah saudaraku, Muhammad bin Maslamah, dan saudara susuanku, Abu Na’ilah. Jika dipanggil untuk urusan bunuh – membunuh yang namanya orang terhormat itu tentu akan menemuinya.” Kemudian dia keluar dari benteng , menyebarkan aroma harum da rambutnya disisir rapi.

Sementara itu, Abu Na’ilah berkata kepada teman – temannya, “Apabila dia sudah tiba, maka aku akan memelu kepalanya dan menciumnya. Jika kalian sudah melihatku sudah bisa memegag kepalanya, maka tikamlah dia dari belakang.”

Setelah Ka’ab Al-Asyraf tiba, mereka mengobrol barang sejenak. Lalu Abu Na’ilah berkata, “Wahai Ibnul Asyraf, maukah kau jalan – jalan bersama kami ke celah bukit, lalu kita mengobrol di sana menghabiskan sisa malam ini ?”

“Kalau memang itu yang kalian kehendaki.” jawab Ka’ab tanpa curiga. Dan mereka pun pergi.

“Aku tidak pernah merasakan yang lebih bagus dan harum daripada malam ini.” kata Abu Na’ilah sambil jalan – jalan.

Ka’ab terpedaya dengan apa – apa yang didengarnya dari mulut Abu Na’ilah. Ka’ab berkata, “aku pun mempunyai seorang wanita Arab yang paling harum baunya.”

“Kalau begitu bolehkan ku mencium aroma rambutmu ?” tanya Abu Na’ilah.

“Boleh saja.” jawab Ka’ab.

Abu Na’ilah mencium rambut Ka’ab, lalu memberi isyarat kepada kawan – kawannya. Setelah berjalan beberapa saat, Abu Na’ilah meminta lagi untuk bisa mencium rambut Ka’ab. “Bolehkah aku mencium rambutmu lagi ?”



“Boleh” jawab Ka’ab. Karena suasana yang akrab dan hangat ini Ka’ab merasa tenang hatinya. Lalu berjalan lagi beberapa saat, dan Abu Na’ilah meminta izin untuk bisa mencium rambut Ka’ab sekali lagi. Maka untuk yang terakhir kali ini Abu Na’ilah menyusupkan tangannya ke rambut Ka’ab sambil menjambaknya dengan kuat – kuat, dia pun berteriak, “Diamlah hai musuh Alloh!!!” 

Pedang kawan – kawan Abu Na’ilah (Al-Harits bin Aus, Ubbad bin Bisyr dan Abu Abbas bin Jabr) pun berseliweran ke arah Ka’ab, tapi sayangnya tidak ada yang kena. Lalu Muhammad bin Maslamah langsung menghunuskan belatinya dan menusukkannya ke punggung Ka’ab hingga tertembus ke perut bagian bawahnya. Lalu Ka’ab berteriak dengan sangat keras sampai para penghuni benteng bangun mendengarnya dan menyalakan pelita dari rumah – rumah mereka. Lalu matilah Ka’ab Al-Asraf –semoga Alloh mengadzabnya- dengan seketika.


Misi Suci Selesai
Lalu batalyon Muhammad bin Maslamah pulang dengan membawa kepala Ka’ab. Akan tetapi Al-Harist bin Aus terluka parah akibat sabetan pedang kawan – kawannya sendiri dan banyak mengeluarkan darah. Mereka terus berjalan denga cepat hingga tiba di Harratul Uraidh. Karena kondisi Al-Harits semakin melemah karena mengeluarkan banyak darah sehingga jalannya selalu tertinggal. maka kawan – kawannya pun membopongnya hingga sampai di Baqi’ Al-Ghorqod. Sesampainya di Baqi’ mereka bertakbir dengan suara keras hingga terdengar oleh Rasulullah – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya-.


Beliau tau bahwa mereka telah berhasil melaksanakan tugas, lalu beliau ikut bertakbir juga. Setelah batalyon itu tiba di hadapan Rasulullah – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya-, maka beliau bersabda, “Wajah – wajah yang bruntung.”

“Begitu pula dengan engkah wahai Rasulullah.” kata mereka sambil melemparkan penggalan kepala Ka’ab di hadapan beliau.

maka beliau memuji Alloh atas terbunuhnya Ka’ab.Setelah itu beliau meludahi luka Al-Harits dan al-hamdu lillah lukanya pun sembuh dengan seketika, hingga tak tersisa lagi.



Yahudi Ketakutan
Setelah mengetahui terbunuhnya pemimpin mereka, Ka’ab Al-Asyraf, maka kaum Yahudi pun dirasuki perasaan cemas dan takut. Kini mereka tau, bahwa Muhammad Raslullah – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya- tidak sungkan – sungkan untu melawan orang – orang yang selalu memusuhi agamanya dan kaum Muslimin.

Keluarlah sifat asli Yahudi, mereka pun tidak berani berbuat apa – apa atas kematian pemimpinnya itu. Mereka pun bagai ular yang masuk lagi ke dalam sarangnya.



Hikmah Kisah
Dari kejadian yang pernah terjadi itu, sangatlah jelas bahwa hukuman bagi penghina Nabi adalah DIBUNUH!

Dan Nabi – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya- pun merestuinya. Meskipun bagi sebagian para pengamat dan pejabat bodoh menganggap itu melanggar HAM (alat yang dimainkan musuh Alloh untuk membungkam ajaran Islam).

Dengan dibunuhnya penghina tersebut secara tragis, dapat menimbulkan efek yang sangat indah. Efek samping itu adalah menjadi takutnya musuh – musuh Alloh, menjadi gentarnya hati – hati mereka jika ingin mencela atau berbuat jahat terhadap kaum Muslimin ataupun ajarannya.

Jika keadaan itu sudah terjadi, maka tidak akan ada lagi pelecehan agama, dan semata – mata agama ini hanya untuk-Nya –Yang Maha Tinggi-. Maka terjadilah situasi dan kondisi yang aman dan terkendali.

Itulah yang dimaksud Rahmatan Lil ‘Alamiin (rahmat bagi seluruh alam).


Semoga kita semua bisa menerapkan apa – apa yang Nabi – semoga Alloh limpahkan sholawat dan salam baginya- telah merestuinya, Insyaa’ Alloh.

Thursday, December 6, 2012

Salafi Harus Cinta Jihad dan Mati Syahid

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam­- keluarga dan para sahabatnya.
Generasi sahabat adalah generasi terbaik di muka bumi setelah para nabi dan rasul. Allah telah memuji mereka, meridhai dan menyediakan surga untuk mereka. Bahkan menjadikan jalan hidup mereka sebagai petunjuk kebenaran yang harus diikuti.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Itulah kemenangan yang besar."  (QS. Al-Taubah: 100)
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
"Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. Al-Nisa': 115)
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا
"Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah: 137)
Al-Imam al-Barbahari rahimahullah berkata: ". .maka siapa yang menyalahi para sahabat Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam salah satu persoalan agama maka ia telah kufur." Hal ini karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menerangkan sunnah kpd umatnya dan menjelasnya dengan rinci kepada para sahabatnya, merekalah yang disebut al-Jama'ah.
Maka perhatikan, setiap orang (khususnya) sezaman denganmu yang engkau dengar perkataanya jangan buru-buru menerimanya sehingga engkau tanya dan lihat: apakah para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau salah seorang ulama mengatakannya? Jika engkau temukan satu atsar tentangnya dari mereka maka peganglah, jangan berpaling dan memilih yang lain. Jika tidak demikian, pasti engkau terjerumus ke neraka. (Disarikan dari Syarhus Sunnah, point no. 8)
Oleh sebab itu penting sekali kita membaca perjalan hidup mereka agar kita bisa mengetahui generasi marhumah (dirahmati). Sehingga kita bisa meniru sifat-sifat mulia mereka, meniti jalan hidup yang lurus, dan mewarisi keistiqamahan diatas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
. . . setiap sahabat –alim atau awamnya, senior atau juniornya, laki-laki atau wanitanya, pedagang atau pekerjanya- semuanya cinta kepada jihad dan gugur di jalan Allah sebagai syuhada'. . .
Salah satu sifat mulia dan menonjol yang dimiliki generasi sahabat Nabi adalah kecintaan mereka kepada jihad dan syahid di jalan Allah.
Jika kita perhatikan perjalanan kehidupan sahabat, setiap sahabat –alim atau awamnya, senior atau juniornya, laki-laki atau wanitanya, pedagang atau pekerjanya- semuanya cinta kepada jihad dan gugur di jalan Allah sebagai syuhada'. Kenapa bisa demikian? Karena guru dan teladan mereka –Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam- senang dengan jihad dan berharap mati syahid. Ini dapat kita temukan pada jawaban beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam atas pertanyaan beberapa shahabatnya, "Amal apa yang paling utama?" kemudian beliau menyebutkan di dalamnya, "jihad fi sabilillah."
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
"Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah ditanya, "Amal apa yang paling utama?" beliau menjawab, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya." Ditanya lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Jihad fi sabilillah"." (Muttafaq 'Alaih)
Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Aku bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ: الإِيمَانُ بِاللَّهِ وَالْجِهَادُ فِى سَبِيلِهِ
"Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama? Beliau menjawab: Beriman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya." (Muttafaq 'Alaih)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: "Wahai Rasulullah, Amalan apakah yang (pahalanya) sebanding dengan Jihad fi Sabilillah?” beliau menjawab, "Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya."
Mereka (para sahabat) mengulangi pertanyaan tersebut dua atau tiga kali, dan  jawaban beliau atas setiap pertanyaan itu sama, "Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya." Kemudian setelah yang ketiga beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
"Perumpamaan seorang mujahid Fi Sabilillah adalah seperti orang yang berpuasa yang  mendirikan shalat lagi lama membaca ayat-ayat Allah. Dan dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya, sehingga seorang mujahid fi sabilillah Ta’ala pulang." (Muttafaq 'Alaih)
Bukti lain kecintaan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada jihad dan mati syahid adalah angan-angan beliau agar beliau bisa berperang lalu terbunuh di dalamnya, kemudian dihidupkan kembali supaya bisa berperang di jalan Allah dan gugur di dalamnya.
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوَدِدْتُ أَنِّى أَغْزُو فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَأُقْتَلُ ثُمَّ أَغْزُو فَأُقْتَلُ ثُمَّ أَغْزُو فَأُقْتَلُ
"Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh aku senang berperang di jalan Allah lalu terbunuh. Kemudian aku berperang lalu terbunuh. Kemudian aku berperang lalu terbunuh." (Muttafaq 'Alaih, lafadz milik Imam Muslim. Dalam redaksi lainnya, "Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh aku senang terbunuh di jalan Allah lalu dihidupkan.")
Sehingga kita saksikan, para sahabat –dengan perbedaan tingkatan mereka- berlomba-lomba untuk bisa berjihad dan gugur di dalamnya sebagai syuhada'. Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu 'Anhu: Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Ya Rasulullah, di manakah tempatku jika aku terbunuh?" Beliau menjawab, "Di surga." Kemudian ia lempar beberapa butir kurma di tangannya, lalu berperang dan gugur. (HR. Muslim)
. . . para sahabat –dengan perbedaan tingkatan mereka- berlomba-lomba untuk bisa berjihad dan gugur di dalamnya sebagai syuhada'. . .
Bahkan kita lihat, jika mereka tertinggal dari berjihad maka mereka menangis sedih. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Abdullah bin Umar saat tidak dibolehkan ikut dalam perang Badar dan Uhud karena usianya yang belum genap 15 tahun.
Al-Qur'an juga mengabadikan kisah mereka-mereka yang terhalangi dari ikut berjihad, "Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (QS. Al-Taubah: 92)
Ini berbeda jauh dengan kita, jika tidak bisa berjihad (karena belum ada kesempatan), karena ada udzur syar'i, atau bertemu dengan fatwa yang meringankan dari pergi berjihad maka kita senang dan bergembira karenanya. Padahal Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah memperingatkan dengan keras kepada siapa yang belum pernah berjihad dan tidak pernah meniatkan diri untuk berjihad.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ 
"Siapa yang meninggal sementara ia tidak pernah berperang (berjihad) dan tidak pernah meniatkan untuknya, maka ia mati di atas cabang kenifakan." (HR. Muslim) Maksudnya, ia belum pernah berjihad dan belum pernah berkeinginan serta meniatkan diri untuk berjihad jika ia memiliki kesempatan itu datang kepadanya.
Al-Hakim telah meriwayatkan dalam Mustadraknya (no. 2421) dari hadits Basyir bin al-Khashashiyyah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk berbai'at masuk Islam. Maka beliau mensyaratkan kepadaku:
تَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَتُصَلِّي الْخَمْسَ ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
"Engkau bersaksi  tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, engkau shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berjihad di jalan Allah."
Dia melanjutkan, "Aku berkata: 'Wahai Rasulullah, ada dua yang aku tidak mampu; Yaitu zakat karena aku tidak memiliki sesuatu kecuali sepuluh dzaud (sepuluh ekor unta) yang merupakan titipan dan kendaraan bagi keluargaku. Sedangkan jihad, orang-orang yakin bahwa yang lari (ketika perang) maka akan mendapat kemurkaan dari Allah, sedangkan aku takut jika ikut perang lalu aku takut mati dan ingin (menyelamatkan) diriku."
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menggenggam tangannya lalu menggerak-gerakkannya. Lalu bersabda,
لَا صَدَقَةَ وَلَا جِهَادَ فَبِمَ تَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟
"Tidak shadaqah dan tidak jihad? Dengan apa engkau masuk surga?"
Basyir berkata, "Lalu aku berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, aku berbaiat kepadamu, maka baitlah aku atas semua itu." (Imam al-Hakim berkata: Hadits shahih. Al-Dzahabi menyepakatinya)
. . . Maka siapa yang mengikuti para sahabat (salafi) maka ia haruslah cinta kepada jihad, ikut berjihad, dan berharap kesyahidan. . .
Penutup
Inilah kehidupan para sahabat Nabi ridhwanullah 'alaihim ajma'in. Mereka –baik dari kalangan 'alim, faqih, muhaddits, dan selainnya- sangat senang dan cinta kepada jihad dan ikut serta di dalamnya. Sementara yang tidak bisa ikut, ia menangis. Tidak ada di antara mereka yang mencukupkan diri pada menuntut ilmu, menghafal Al-Qur'an, larut dalam ibadah shalat, puasa dan selainnya; lalu meninggalkan jihad fi sabilillah. Semuanya menjadi tentara-tentara Allah, mujahidin, dan perindu kesyahidan. Maka siapa yang mengikuti para sahabat (salafi) maka ia haruslah cinta kepada jihad, ikut berjihad, dan berharap kesyahidan. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]

Monday, December 3, 2012

Sepuluh Pembatal Keislaman

Ini adalah terjemahan dari kitab Al-Qaul Al-Mufid fii Adillah At-Tauhid Bab: Nawaqidh Al-Islam ‘Asyarah, karya: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al-Wushabi Al-Yamani -hafizhahullah-, salah seorang murid dari Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i -rahimahullah-.
Pertama: Kesyirikan (beribadah kepada selain Allah).
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia mengampuni semua dosa di bawah dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh di telah mengadakan dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’:48)
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putera Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabb kalian”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan tempatnya adalah di neraka, tidak ada seorangpun penolong bagi orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 72)
Kedua: Berpaling dari Islam dengan lebih memilih agama Yahudi, Nashrani, Majusi, Komunis, Sekularis, atau selainnya dari keyakinan yang membawa kekufuran jika dia menyakininya.
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut kepada kaum mukminin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kalian dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila para malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus amalan-amalan mereka. Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka? Dan kalau kami kehendaki, niscaya kami tunjukkan mereka kepada kalian sehingga kalian benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya, dan kalian benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (QS. Muhammad: 25-30)
Ketiga: Orang yang tidak mengkafirkan orang kafir baik dari Yahudi, Nashrani, Majusi, orang-orang musyrik, atau orang yang mulhid (Atheis) atau selain itu dari berbagai macam kekufuran. Atau dia meragukan kekafiran mereka atau dia membenarkan mazhab/ajaran mereka, maka dia telah kafir.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasulNya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir dengan sebenar-benarnya kekafiran. Kami Telah menyediakan siksaan yang menghinakan untuk orang-orang yang kafir itu.” (QS. An-Nisa’: 150-151)
Keempat: Orang yang meyakini bahwasanya petunjuk selain petunjuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wassallam- lebih sempurna atau meyakini bahwa hukum selain hukum yang dibawa oleh Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam- lebih baik (daripada petunjuk dan hukum beliau). Seperti orang-orang yang lebih memilih hukum-hukum thagut daripada hukum yang dibawa oleh Rasulullah -Shallallahu’alaihi wasallam-.
Allah Ta’ala berfirman, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan, dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)
Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85)
Kelima: Orang yang membenci apa yang dibawa oleh Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam-, walaupun dia mengamalkannya.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghilangkan amalan-amalan mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang Allah turunkan maka Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (QS. Muhammad: 8-9)
Keenam: Orang yang mengolok-olok (menghina) Allah, Rasul, Al-Qur’an, agama Islam, malaikat, atau para ulama karena ilmu yang mereka miliki. Atau menghina salah satu syiar dari syiar-syiar Islam seperti, shalat, zakat, puasa, haji, tawaf di Ka’bah,wukuf di ‘Arafah, atau menghina Masjid, azan, jenggot, atau sunnah-sunnah Rasulullah -shollallahu’alaihi wasallam lainnya, dan syi’ar-syi’ar agama Allah, dan tempat-tempat yang disucikan dalam keyakinan Islam serta yang terdapat keberkahan padanya.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya, dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?” Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir setelah beriman. Jika kami memaafkan segolongan kalian (lantaran mereka taubat), niscaya kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 65-66)
Ketujuh: Sihir, termasuk ash-shorfu (merubah seseorang dari sesuatu yang dicintainya menjadi yang dibencinya) dan al-athfu (mendorong seseorang dari sesuatu yg dibencinya menjadi dicintainya/pelet dan semacamnya, pent.)
Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), akan tetapi justru setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (kepada kamu) sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat memisahkan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak bisa memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberikan mudharat kepada mereka dan tidak pula memberi manfaat kepada mereka. Sungguh mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 102)
Kedelapan: Memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu mereka dalam rangka memerangi kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti sebagian dari ahli kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman. Bagaimanakah kalian (bisa sampai) kafir padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian dan Rasul-Nya berada di tengah-tengah kalian? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imron: 100-101)
Kesembilan: Meyakini bahwa ada sebagian manusia yang diberi keleluasaan untuk keluar dari syariat Rasulullah -shollallahu ’alaihi wasallam-, sebagaimana Nabi Khidir diperbolehkan keluar dari syariat yang dibawa Nabi Musa -‘alaihissalam-.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.” (QS. Saba’: 28)

Kesepuluh: Berpaling dari agama Allah Ta’ala, tidak mempelajarinya, dan tidak beramal dengannya.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian dia berpaling darinya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS. As-Sajdah: 22)
Allah Ta’ala berfirman, “Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al-Quran). Barangsiapa yang berpaling dari Al-Qur’an, maka sesungguhnya dia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalamnya dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat.” (QS. Thaha: 99)