Thursday, December 13, 2012

Sekali Pelacur Tetap Pelacur, Tak Perlu Perhalus dengan Istilah PSK

Belakangan ini ramai polemik tentang istilah pelacur menjadi PSK.  Dalam setiap forum, kelompok liberal dan para pezinah kerap menggunakan istilah PSK dengan dalih berempati dengan wanita yang mencari nafkah untuk diri dan keluarganya.  Sementara, kaum religius, menolak istilah PSK untuk mengganti dari kata pelacur.
Kupu-kupu malam, lonte,  ayam  kampus,  jablay, perek, adalah  sedikit  banyak  di antara  istilah  yang  kerap  terdengar  dimasyarakat ketika menunjuk  pada  sesosok perempuan berprofesi pelacur. Bahkan (alm) Penyair W.S. Rendra pernah menulis puisi tentang pelacur, yang diberi judul: "Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta!"
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pelacur adalah perempuan yang melacur. Istilah pelacur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) berkata dasar lacur yang berarti malang, celaka, gagal, sial atau tidak jadi.
Sedang pelacur menurut Pheterson (1996) mengacu kepada mereka yang secara terbuka menawarkan dan menyediakan seks, adalah sebuah status sosial yang telah terstigmasi dan bersifat kriminal. Dengan demikian, pelacuran bisa disetarakan dengan pencurian, dan perampokan, dimana perbuatan itu menjadi bagian dari kriminal.
Perkins & Bannet (dalam Koentjoro 2004) juga mendefinisikan bahwa pelacuran sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai sesuatu yang bersifat kontrak jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam.
Sebagai catatan, kosakata bahasa Indonesia bertambah sekitar 13.000 buah kosakata. Semula diperkirakan hanya ada sekitar 78.000, saat ini diperkirakan sudah menjadi sekitar 91.000 kosakata. Kosakata tersebut kebanyakan merupakan serapan yang berasal dari bahasa asing, Melayu dan bahasa Daerah. Bahkan kini berkembang dari bahasa alay atau pergaulan anak zaman sekarang.
Selain pelacur, kini muncul istilah baru yakni Pekerja Seks Komersial (PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar (Koentjoro, 2004). Istilah PSK ditolak oleh pemerintah, terutama berkenaan dengan statistik tenaga kerja. Dengan menggunakan PSK, berarti sama dengan memasukkan sektor pelacuran kedalam ruang lingkup lapangan pekerjaan yang sah, sehingga mereka harus didata dan dimasukkan kedalam statistik tenaga kerja (Wagner & Yatim, 1997).
Selain pelacur dan PSK, kemudian berkembang istilah WTS (wanita tuna susila) karena menganggap bahwa perempuan yang melacurkan diri tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat. Secara legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri Sosial No. 23/HUK/96 (dalam Koentjoro, 2004) yang menyebut pelacur dengan istilah WTS. Namun menurut Koentjoro (2004) upaya pemerintah saat itu sebenarnya tidak lain untuk melebihhaluskan istilah pelacur.
Menarik, Ketua Indonesia Tanpa JIL (ITJ) Akmal Sjafril sampai menyebut penghalusan kata pelacur menjadi PSK sebagai bentuk Konspirasi. Ia mempertanyakan, siapa sebenarnya yang pertama kali menggunakan istilah PSK , namun yang jelas, nampaknya semua media sudah bersepakat (atau berkonspirasi ) untuk menggunakannya secara konsisten. Kata PSK adalah sebuah istilah yang sangat kontradiktif. Bukan merupakan penghalusan, melainkan pengaburan makna yang sebenarnya.
Secara lebih tegas, Koentjoro (2004) menolak istilah WTS atau PSK dan memilih untuk menggunakan pelacur. Hal ini disebabkan karena:
  1. Arti pelacur baik secara denotatif maupun konotatif lebih lengkap dan lebih spesifik 
  2. Istilah pekerja seks berlaku terlalu luas, tidak spesifik dan bermakna ganda 
  3. Istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa melacur merupakan pekerjaan.
Berdasarkan semua definisi diatas Koentjoro (2004) mengatakan bahwa seorang pelacur adalah seorang yang berjenis kelamin wanita/perempuan yang digunakan sebagai alat untuk memberi kepuasan seks kepada kaum laki-laki. Perempuan berperan sebagai budak dan dibayar oleh laki-laki atas jasa seks mereka.
Penghalusan yang Tak Pantas
Sejak kapan istilah WTS dipakai? Konon, istilah itu dimunculkan pada era Orde Baru. Jaman itu banyak pula istilah di tengah masyarakat yang diperhalus. Misalnya ditangkap polisi karena mengritik pemerintah diistilahkan dengan diamankan. Kenaikan harga bahan bakar minyak diistilahkan dengan penyesuaian harga. Penjara sebagai tempat para penjahat menjalani hukuman diistilahkan dengan Lembaga Pemasyarakatan. Kini istilah WTS lebih diperhalus lagi dengan Pekerja Seks Komersial (PSK).
Ketika pers semakin bebas, banyak ide dan gagasan dalam memberi istilah baru, termasuk menghaluskan bahasa (Eufimisme). Sangat aneh dan ironis, jika pelacur dianggap bagian dari pekerjaan. Bahkan disetarakan dengan buruh, petani, nelayan, pedagang. Atau mungkin meningkat pula menjadi profesi semacam dengan dokter, notaris, dosen, dan guru.
Peraturan Daerah seperti di Kabupaten Bantul dan Kota Sambas dalam menyebut pelaku perbuatan seks guna memperoleh uang adalah tetap pelacur. Maka, apapun bentuk jasa layanan seks komersial, entah itu di pinggir jalan, rel kereta api, gubuk reot,  beralas tikar, lokalisasi, layanan internet, online, hotel-hotel berbintang, tetap saja tak bisa menaikkan derajat kaum pezinah atau pelacur. Baik laki-laki atau perempuan yang menjajakan tubuhnya dengan yang bukan muhrimnya, mereka adalah pelacur.
Sekali pelacur tetap pelacur. Tak perlu berempati dengan para pezinah dengan dalih mencari nafkah. Juga tak perlu memperhaluskan kata dari pelacur menjadi PSK, seperti yang disosialisasikan kelompok liberal dan pendukungnya. Yang pasti, ulama tidak sepakat dengan penyebutan PSK. Dalam syariat Islam, mereka (pezinah) seharusnya mendapat hukuman cambuk.  desastian.

Sumber : VoaIslam

No comments:

Post a Comment