Mayoritas kaum Muslimin yang berada di berbagai belahan negara Islam
menisbatkan aqidah mereka kepada Abul Hasan Al-Asy’ary. Namun sangat
disayangkan, mereka tidak mengenal sedikitpun tentang Abul Hasan dan
juga tidak mengetahui aqidah terakhir yang beliau yakini yang menjadikan
diri beliau termasuk dalam deretan imam-imam yang menjadi panutan. Kami
ingin menerangkan kepada mereka hakikat sebenarnya tentang imam yang
tidak diketahui oleh kebanyakan orang-orang yang menisbatkan diri mereka
kepada beliau dan berpegang dengan aqidah beliau berdasarkan literatur
muktabar yang telah kami teliti.
Siapa Abul Hasan Al-Asy’ary ?
Beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ary.
Lahir pada tahun 260 H. Identitas ini disebutkan oleh Abul Qasim Ali
bin Hasan bin Hibatullah bin ‘Asaakit Ad-Dimasyqy dalam kitabnya
“Tabyiinul Kidzbil Muftari Fima Nusiba ila Abi Hasan Al-Asy’ary” ,
Al-Khatib Al-Baghdady dalam kitab Tarikh Baghdaady, Ibnu Khalkan dalam
Wafayaatul A’yan, Adz-Dzahaby dalam Tarikh Islam, Ibnu Katsir dalam
Al-Bidayah wan Nihayah dan Thabaqaat Asy-Syaafi’iyah, At-Taaj As-Subki
dalam Thabaqaat Asy-Syaafi’iyah Al-Kubra, Ibnu Farhun Al Maaliky dalam
Ad-Dibadzul Madzab fi A’yaani Ahli Madzab, Murtadha Az-Zubaidy dalam
Ittihaafus Saadatil Muttaqin bi Syarh Asrar Ihya ‘Ulumuddin, Ibnul
‘Ammad Al-Hanbali dalam Syadzaraat Adz-Dzahab fi A’yaani min Dzahab dan
lain-lain.
Imam Abul Hasan Al-Asy’ary datang ke kota Baghdad
dan mengambil hadits dari Al-Hafidz Zakariya bin Yahya As-Saajy salah
seorang imam hadits dan fiqh, dari Abi Khalifah Al-Jumahi, Sahl bin
Sarh, Muhammad bin Ya’kub al Muqry dan Abdur Rahman bin Khalaf
Al-Bashriyain. Beliau banyak meriwayatkan dari mereka dalam kitab tafsir
beliau berjudul Al-Mukhtazin. Beliau juga mengambil ilmu kalam dari
gurunya yaitu suami ibunya yang bernama Abi Ali Al-Jubba’i, salah
seorang tokoh Mu’tazilah.
Setelah beliau mendalami ilmu kalam
dan berhasil mencapai puncaknya, beliau mengajukan beberapa pertanyaan
kepada gurunya tersebut. Tetapi beliau tidak mendapatkan jawaban yang
memuaskan hingga membuat beliau bingung.
Dikisahkan dari
beliau, bahwa beliau berkata, “Selama beberapa malam, aku merasa gelisah
dengan aqidah yang sedang aku pegang. Lantas aku berdiri melaksanakan
shalat dua rakaat. Lalu aku memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia
menunjukiku kepada jalan yang lurus, kemudian aku tertidur. Aku melihat
Rasulullah saw dalam mimpi lantas aku mengadukan kepada beliau tentang
masalah yang sedang menggelayutiku. Rasulullah saw bersabda kepadaku,
“Peganglah sunnahku!” kemudian akupun terbangun. Setelah itu aku
membandingkan masalah-masalah ilmu kalam yang aku dapati, dengan Al
Qur’an dan Hadits. Akupun berkesimpulan untuk berpegang teguh dengan Al
Qur’an dan As-Sunnah serta membuang ilmu-ilmu selainnya.
Abu
Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit yang dikenal dengan sebutan Al-Khatib
Al-Baghdady wafat tahun 463 H dalam tarikhnya yang terkenal juz 11
halaman 346 berkata : “Abu Hasan Al Asy’ary adalah pemilik berbagai
kitab yang membantah kaum mulhid dan lain-lainnya dari kalangan
Mu’tazilah, Rafidhah, Jahmiyah, Khawarij dan berbagai kelompok bid’ah
lainnya.”…kemudian beliau mengatakan : “Pada waktu itu kaum Mu’tazilah
sedang berjaya hingga Allah memunculkan Abu Hasan Al-Asy’ary yang
akhirnya menghujat mereka hingga tak berkutik.”
Ibnu Farhun
berkata dalam kitab Ad-Dibaj : “Abu Muhammad bin Abi Zaid Al-Qiruwany
dan imam-imam lainnya memberi pujian terhadap Abu Hasan Al-Asy’ary.”
Ibnul ‘Imam Al-Hanbali berkata dalam kitab Asy-Syadzaraat 2/303 : “Di
antara perkara yang membuat hina panji-panji kaum Mu’tazilah dan
Jahmiyah serta menjelaskan kebenaran yang sudah nyata dan membuat dada
ahli iman dan ahli ma’rifah sejuk adalah perdebatan Abul Hasan
Al-Asy’ary dengan gurunya, Al-Jubba’i, yang hasilnya mematahkan kekuatan
semua pelaku bid’ah dan tukang debat. Perdebatan ini sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibnu Khalkan ; “Abul Hasan Al-Asy’ary mengajukan tiga
pertanyaan kepada ustadznya, Abu Ali Al-Jubbaa’i tentang tiga orang
bersaudara. Yang pertama seorang mukmin, baik dan bertaqwa, yang kedua
kafir, fasiq dan jahat, dan yang ketiga masih kecil. Kemudian
ketiga-tiganya mati, bagaimana keadaan mereka nanti ?” Al-Jubbaa’i
menjawab :”Adapun yang mukmin maka ia berada di tempat yang tinggi
(jannah), sedang yang kedua berada di tempat paling rendah (neraka) dan
yang masih kecil termasuk orang-orang yang selamat (dari neraka).”
Abul Hasan Al-Asy’ary bertanya lagi : “Jika si kecil ingin ke tempat
saudara yang mukmin tadi, apakah ia akan diberi izin ?” Al-Jubbaa’i
menjawab : “Tidak boleh ! Karena akan dikatakan kepadanya bahwa
saudaramu dapat mencapai derajat ini karena ia banyak beramal, sementara
kamu tidak mempunyai amal ketaatan.”Abul Hasan Al-Asy’ary berkata :
“Jika si kecil menjawab : “Kesalahan ini tidak terletak padaku, karena
Allah tidak membiarkan usiaku panjang dan tidak mentakdirkan kepadaku
untuk melaksanakan ketaatan.” Al-Jubbaa’i berkata : “Allah swt akan
berkata :’Aku mengetahui, jika Aku biarkan usiamu panjang, kamu akan
menjadi orang yang durhaka dan berarti kamu berhak mendapat azab yang
pedih. Maka hal itu Aku lakukan demi kemaslahatanmu.”
Abul
Hasan Al-Asy’ary berkata : “Jika saudaranya yang kedua berkata ;’Wahai
Ilaah semesta alam, sebagaimana Engkau mengetahui keadaannya tentunya
Engkau juga sudah mengetahui keadaanku, lantas mengapa Engkau tidak
memperhatikan kemaslahatanku ?” Mendengar hal itu Al-Jubbaa’i pun
terdiam.”
Ibnu Imaad berkata, “Perdebatan ini menunjukkan bahwa
Allah swt memberikan rahmat-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki
dan menimpakan azab atas siapa saja yang Dia kehendaki.”
Taajuddin As-Subki dalam Thabaqaat Asy-Syaafi’iyah Al Kubra berkata
;”Abul hasan Al-Asy’ary seorang ulama besar Ahli Sunnah setelah Imam
Ahmad bin Hanbal dan tidak diragukan lagi bahwa aqidah beliau sama
seperti aqidah Imam Ahmad bin Hanbal. Hal ini dengan jelas beliau
sebutkan berkali-kali dalam buku-buku beliau ; “Aqidahku adalah seperti
aqiah Al-Imam Ahmad bin Hanbal.” Demikianlah ucapan Syekh Abul Hasan
Al-Asy’ary di berbagai tempat dalam bukunya.
Keutamaan Abul
Hasan Al-Asy’ary terlalu banyak dan dalam kesempatan yang terbatas ini
tidak mungkin dikumpulkan semuanya. Siapa saja yang membaca
tulisan-tulisan beliau setelah bertaubat dari madzhab Mu’tazilah, akan
menjumpai bahwa Allah telah mencurahkan taufik-Nya kepada beliau dan
menjadikan beliau sebagai penegak kebenaran dan pembela manhaj yang haq.
Para pengikut madzhab berselisih tentang madzhab yang dianut oleh Imam
Abul Hasan Al-Asy’ary. Penganut madzhab Maliki mengatakan bahwa beliau
adalah seorang yang bermadzhab Maliki. Penganut madzhab Asy-Syafi’i
mengatakan bahwa beliau bermadzhab Syafi’i dan demikian halnya dengan
penganut madzhab Hanafy. Ibnu Asakir berkata ;”aku bertemu dengan Syekh
Al Fadhil Jamal Al-Faqih lalu ia menyebutkan riwayat dari guru-gurunya
bahwa Abul Hasan Al-Asy’ary bermadzhab Maliki. Kemudian sekarang ini
siapa saja yang menisbatkan diri kepada madzhab Ahli Sunnah dan
orang-orang yang menekuni masalah-masalah ushuluddin dari berbagai
madzhab menisbatkan diri kepada beliau, karena banyaknya buku-buku
karangan beliau dan banyaknya orang-orang yang membacanya.
Ibnu Faurak berkata ;”Abul Hasan Al-Asy’ary wafat pada tahun 324 H.”
Setelah disebutkan secara ringkas biografi ulama ini, selanjutnya akan
disebutkan bukti taubat beliau dari pemikiran Mu’tazilah serta bukti
penisbatan kitab Al-Ibaanah ini kepada beliau dan kami juga akan
memaparkan literatur-literatur yang menjelaskan tentang hal itu.
InsyaAllah.
Oleh : Ummu Fauzi
Sumber ; Buku “Al-Ibaanah, ‘An Ushulid Diyanah” Penulis : Imam Abul Hasan Al-Asy’ari.
Sumber : KabarDuniaIslam (fanpage FB)
No comments:
Post a Comment